Masyarakat Adat dan Ekonomi Kerakyatan

Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina

Terima kasih kepada panitia yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menyampaikan beberapa pokok pikiran mengenai acara diskusi pada hari ini. Panitia meminta kami untuk berbicara “Pemberdayaan Masyarakat Adat Dalam Perspektif Ekonomi Kerakyatan”. Topik ini sebenarnya sudah menjadi bahan perbincangan di berbagai forum, tetapi persoalan tetap saja belum selesai. Bahkan, bukan hanya masyarakat adat yang merasa tidak berdaya, tetapi juga ada berbagai komunitas masyarakat yang memiliki perasaan yang sama.

Cara melihat kesulitan masyarakat adat itu seperti begini: Indonesia Timur merupakan zona yang jauh tertinggal dibandingkan Indonesia Barat. Maluku ada di Indonesia Timur dan tercatat sebagai provinsi miskin keempat. Kemudian, Buru dan Buru Selatan kalau tidak keliru bukan yang termiskin untuk ukuran Maluku, tetapi tetap masuk kategori miskin. Kemudian, masyarakat adat di Pulau Buru adalah bagian masyarakat yang miskin dan terpinggirkan. Bisa dibayangkan, masyarakat adat berada di zona miskin (timur), ada di propinsi miskin, ada di kabupaten miskin dan ada di komunitas miskin.

Sekadar untuk memperjelas diskusi ini, dalam UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup dijelaskan, yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

Bagaimanapun keberadaan berbagai peraturan dan perundangan yang mengatur masyarakat adat setidaknya menunjukkan adanya kepedulian, meski terkadang apa yang tertulis lebih indah dari yang terjadi.

Namun, kepedulian terhadap persoalan yang dialami masyarakat adat, sebenarnya telah menjadi perhatian dunia sejak satu dekade silam. Nasib masyarakat adat telah mengundang keprihatinan masyarakat dunia, sehingga melahirkan apa yang dinamakan United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) atau Deklarasi PBB 295 tentang Hak Masyarakat Pribumi/Adat.

Dalam pertimbangan deklarasi itu, antara lain, menyatakan: “Concerned  that indigenous peoples have suffered from historic injustices  as  a  result  of,  inter  alia,  their  colonization  and  dispossession of their lands, territories and resources, thus preventing them from exercising,  in  particular,  their  right  to  development  in  accordance with their own needs and interests”

Kurang lebih berarti: keprihatinan bahwa masyarakat adat/pribumi telah menderita ketidakadilan sejarah sebagai hasil dari, timbal balik, kolonisasi dan pengambilalihan tanah, wilayah dan sumber-sumber daya mereka, hal demikian pada dasarnya menghalangi mereka melaksanakan hak-hak mereka untuk berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan mereka sendiri.

Deklarasi PBB 295 yang dikeluarkan pada 13 September 2007 (atau lusa Rabu 13 September 2016, tepat berusia 9 tahun) itu dalam pasal 8 (ayat) 2 menyatakan: Negara sebaiknya menyediakan mekanisme yang efektif untuk pencegahan dan perbaikan untuk : (a) Setiap tindakan yang bertujuan atau berakibat merampas keutuhan mereka sebagai masyarakat yang berbeda, atau nilai-nilai budaya dan identitas etnis mereka. (b) Setiap tindakan yang bertujuan atau berakibat pengambilalihan atas tanah,  wilayah dan sumber daya mereka. (c) Setiap bentuk pemaksaan pemindahan penduduk yang bertujuan atau akibat  kekerasan atau merusak beberapa hak mereka. (d) Setiap bentuk pemaksaan asimilasi dan integrasi. (e) Setiap bentuk propaganda yang dibuat  yang bertujuan menimbulkan atau  menghasilkan diskriminasi ras atau etnik yang ditujukan untuk melawan   masyarakat adat/pribumi.

Kemudian, secara nasional, juga sebenarnya ada perhatian negara yang tertuang dalam GBHN 1999-2004 di bagian lingkungan hidup, yang menyatakan, “Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang”.

Hanya seperti kita semua ketahui, ini merupakan GBHN terakhir, karena setelah itu secara resmi kita tidak lagi menganut pola perencanaan GBHN, seperti yang terjadi sekarang ini dimana visi, misi dan program presiden menjadi pengganti GBHN.

Keberadaan deklarasi PBB dan berbagai perangkat aturan secara nasional yang berkaitan dengan masyarakat adat, sebenarnya merupakan konfirmasi atas kondisi masyarakat adat yang tidak memperoleh hak yang semestinya di atas tanahnya sendiri.

Ada banyak fakta dan kasus dimana sumber daya alam yang berada dalam masyarakat adat dieksploitasi sedemikian rupa tanpa memperhatikan kebutuhan dan masa depan masyarakat adat. Sekadar contoh, apakah ketika investor atau siapapun hendak mengelola Blok Migas di Maluku mengajak masyarakat adat?  Padahal, kita tahu semua, setiap jengkal tanah dan air di Tana Maluku memiliki petuanan (wilayah adat) sendiri.

Begitu juga dengan pertambangan mas Gunung Botak di Pulau Buru. Dampak eksploitasi alam yang berlebihan akan ditanggung masyarakat adat yang memang bermukim di sekitar lokasi pertambangan secara turun-temurun. Baik atau buruk alam di sekitarnya akan tetap dihuni masyarakat adat. Untuk itu, merupakan ketidakadilan bagi masyarakat adat jika eksploitasi lingkungan tidak memperhatikan dampak yang timbul dan keberlanjutan kehidupan masyarakat adat.

Penambang hanya datang dan pergi untuk mencari keuntungan, karena tidak pernah merasakan dampak yang timbul akibat kerusakan lingkungan. Beda dengan masyarakat adat yang memiliki kewajiban moral untuk mewariskan lingkungan bagi generasi berikutnya. Persoalan Gunung Botak harus menjadi momentum bagi masyarakat adat untuk meningkatkan daya tawar, sebelum persoalan semakin rumit dan kompleks.

Persoalan lingkungan akibat penambangan semestinya perlu ada kesadaran bersama, kerusakan lingkungan Pulau Buru akan mengancam potensi alami berupa kayu putih dan kayu meranti yang memang sangat terkenal di Pulau Buru. Selain itu, Pulau Buru juga memiliki berbagai jenis burung yang khas. Alfred Russel Wallace yang mengunjungi Pulau Buru pada tahun 1861 menulis begini dalam The Malay Archipelago, “Koleksi aku di Buru meskipun tidak banyak, namun sangat menarik karena dari 66 jenis burung yang aku kumpulkan di sana, tidak kurang dari 17 yang baru, atau sebelumnya tidak pernah ditemukan di Maluku”.

Kelestarian lingkungan bersama flora dan fauna, termasuk sumber daya alam menuntut adanya peran masyarakat adat, sehingga pemanfaatan sumber daya alami harus tetap memperhatikan aspek kelestarian.

Untuk itu, pemberdayaan masyarakat adat tidak boleh semata-mata diartikan hanya persoalan ekonomi semata, karena masyarakat adat merupakan penjaga nilai luhur, penjaga tradisi dan penjaga kearifan masyarakat. Persoalan utama masyarakat adat dewasa ini, menurut kami, terutama soal daya tawar yang lemah terhadap berbagai kepentingan yang cenderung mengeksploitasi masyarakat adat dan lingkungannya, kualitas pendidikan dan kesehatan. Kelemahan lain, berkaitan dengan keberpihakan terhadap ekonomi kerakyatan, yang bukan hanya menempatkan masyarakat sebagai objek, tetapi juga sebagai subjek dari setiap aktivitas ekonomi.

***

Sangat menarik ketika masyarakat adat dikaitkan dengan ekonomi kerakyatan. Dalam berbagai forum, kami selalu mengatakan, kalau kita berbicara sistem ekonomi Indonesia, maka acuan utama kita tidak boleh lepas dari pasal 33 UUD 1945, terutama ayat 3 yang menyatakan : Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal ini sebenarnya sangat tegas menyatakan, sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat. Kalau konsisten dengan ayat ini, maka lokasi dimana sumber daya alam itu berada harus menikmati kekayaan itu sebelum dinikmati oleh masyarakat lain, apalagi dinikmati negara lain.

Tapi kenyataan berbicara lain, sebagai contoh, Blok Masela ada di Maluku, tetapi rakyat Maluku praktis tidak diajak bicara, apalagi diajak untuk memastikan hak masyarakat adat atas kekayaan yang ada di wilayah adatnya (petuanan). Justru sangat aneh, ketika banyak elit yang tidak mengetahui hak rakyatnya dan justru sibuk mencari dana untuk berpartisipasi dalam pengelolaan Migas. Sumber Migas ada di Maluku, mengapa Maluku diposisikan sebagai pihak yang tidak memiliki modal sehingga harus ikut-ikutan mengeluarkan biaya seperti investor. Maluku bukan investor, tetapi pemilik!

Berbagai praktek yang terjadi saat ini, sebenarnya merupakan buah dari perubahan sistem ekonomi Indonesia, yang bermula dari perubahan UUD 1945. Kami bersyukur, karena merasa sudah melakukan upaya terakhir untuk menentang perubahan UUD 1945 ketika mendapat amanah untuk mewakili rakyat.

***

Tadi di atas, kami menyinggung GBHN. Itu bukan tanpa alasan, karena sebenarnya momentum perubahan sistem ekonomi itu berada di GBHN tahun 1999. Di bagian ekonomi, dinyatakan: “Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai-nilai keadilan, kepentingan sosial, kualitas hidup, pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sehingga terjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja, perlindungan hak-hak konsumen, serta perlakuan yang adil bagi seluruh masyarakat”.

Klausul ini menjadi pedoman untuk berlakunya sistem ekonomi mekanisme pasar. Keran liberalisasi dibuka seluas-luasnya dan negara mau diposisikan sebagai administrator semata. Sekadar gambaran, Pertamina yang semula merupakan milik negara yang menguasai industri Migas berubah menjadi sekadar investor.

Mekanisme pasar menjadikan Indonesia mengedepankan untung dan rugi. Siapa kuat dia menang, siapa lemah dia kalah. Itu sistem ekonomi pasar. Negara dikelola seperti corporate, padahal negara memiliki fungsi sosial yang wajib melayani rakyatnya secara adil tanpa membedakan kuat atau lemah. Ketika masyarakat, termasuk masyarakat adat lemah, kemudian muncul diksi seperti hari ini yakni pemberdayaan. Masyarakat adat sebagai pemilik sumber daya alam diposisikan sedemikian rupa sebagai pihak yang mengharapkan belas kasihan melalui corporate social responsibility (CSR).

Untuk itu, kami menegaskan, sesuai napas pasal 33, Indonesia menganut ekonomi kerakyatan, kekeluargaan dan gotong royong melalui koperasi. Masyarakat adat merupakan pemain di atas sumber daya alamnya, bukan penonton seperti praktek yang terjadi selama ini. Jadi, tidak terkejut kalau Maluku sekadar meminta pembangunan kilang di darat saja harus berteriak habis-habisan.

Menurut kami, semua ini tidak lepas dari hilangnya napas sistem ekonomi kerakyatan, kekeluargaan, koperasi melalui penghilangan bagian penjelasan dari pasal 33 UUD 1945. Sebab, napas sistem ekonomi itu berada di pasal 33 beserta penjelasannya.

Satu hal yang juga hilang tetapi penting dalam bagian penjelasan pasal 33, yakni berkaitan dengan demokrasi ekonomi. Dalam demokrasi ekonomi ini kita bicara demokrasi materil atau demokrasi substantif. Kita bicara tentang keadilan ekonomi. Intinya, soal keadilan. Ini berbeda ketika kita bicara demokrasi formal atau demokrasi prosedural yang bicara soal kalah menang dalam voting atau pemilu. Demokrasi prosedural, karena lebih mengedepankan prosedur bukan substansi.

Ekonomi kerakyatan bukan sekadar ekonomi kreatif, dan sebagainya, tetapi lebih kepada keberpihakan kepada rakyat dalam setiap kebijakan dan aktivitas ekonomi. Sejujurnya, kami tidak terlalu mengenal dengan ekonomi kreatif yang dikembangkan belakangan ini. Sebab, kalau berbicara masyarakat adat, yang bisa dikembangkan adalah ekonomi berbasis etnik, karena setiap komunitas masyarakat memiliki produk yang sangat khas dengan. Kami tidak tahu apakah itu yang dimaksud dengan ekonomi kreatif atau tidak?

Di bagian akhir ini, kata kunci utama dari pemberdayaan masyarakat adat tidak lain dan tidak bukan adalah pendidikan. Sangat jelas, ada berbagai bidang yang harus menjadi perhatian  untuk pemberdayaan masyarakat, tetapi kalau boleh memilih satu solusi utama dan mutlak yang harus mendapat porsi besar dan perhatian serius adalah pendidikan. Kesehatan penting, ekonomi kerakyatan penting, budaya penting dan semuanya penting, tetapi di atas semua itu pendidikan jauh lebih penting.

Demikian pokok pikiran yang bisa kami sampaikan, kiranya memadai untuk menjadi pemancing diskusi atau melengkapi materi diskusi dalam forum yang sangat baik ini. ***

Danke Samua Basudara

========

*) Disampaikan dalam seminar “Meningkatkan Kesadaran dan Memperkuat Masyarakat Adat Pulau Buru Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN” di Ambon, 11 September 2016.

**) Direktur Archipelago Solidarity Foundation; juga Alumni Universitas Bremen Jerman.