Maluku: Pilihan Kemitraan Strategis

Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina

Peran berbagai perguruan tinggi di seluruh dunia akhir-akhir ini semakin bergeser dari peran primer-tradisional sebagai penyedia jasa pendidikan dan pencipta pengetahuan ilmiah ke sinergi peran tradisional-komersial melalui kemitraan dengan sektor swasta dan pemerintah (triple-helix-nexus) pada level ekonomi-lingkungan daerah, nasional dan kawasan. Wujud dari perubahan peran itu, antara lain melahirkan, apa yang dikenal dengan desain smart-cities atau Silicon Valey dan model entrepreneurial universities di berbagai kota metropolis dunia awal abad 21.

            Jaringan tripel-helix di zona Asia telah memperlihatkan hasilnya sejak akhir abad 20. Kreasi dan komersialisasi pengetahuan—invensi, paten, lisensi teknologi, dan sebagainya—telah melahirkan pertumbuhan dan daya-saing ekonomi negara-negara Asia. Data Bank Dunia (1962), awal 1960-an, standar hidup warga Korea Selatan lebih rendah dari Ghana, Nigeria, dan Senegal yang kaya minyak, emas, berlian dan produk-produk hutan.

Sebuah artikel “The Paradox of Plenty” dari Anatole Kaletsky tahun 2007, mengungkapkan, pada tahun 2007, pendapatan per kapita Korea Selatan yang miskin sumber alam, mencapai 35 kali pendapatan per kapita Ghana dan tiga kali pendapatan per kapita negara terkaya di Afrika, Botswana. Pendapatan nasional Tiongkok tahun 1962 lebih rendah dari pendapatan nasional negara yang paling miskin di Afrika. Namun tahun 2007, GDP Tiongkok mencapai lima kali lebih besar dari total ekonomi seluruh Afrika.

Tanpa pengembangan triple-helix-nexus, negara-negara kaya sumber alam misalnya sektor pertambangan, sering gagal mengentaskan kemiskinan. Bahkan eksploitasi sumber-sumber alam memicu konflik dan kemiskinan atau resource curse yakni zona kaya sumber alam terperangkap dalam kemiskinan dan konflik. Resiko lainnya seperti polusi air dan udara, rapuhnya jasa-jasa ekosistem dan keragaman hayati, deforestasi yang memicu perubahan iklim; perpindahan dan migrasi penduduk; kehilangan akses ke air bersih; risiko kesehatan, tergerusnya budaya dan mata-pencaharian.

Tulisan ini hendak memaparkan peluang dan tantangan Maluku mengembangkan triple-helix-nexus berbasis perguruan tinggi guna meningkatkan pertumbuhan dan daya-saing sosial-ekonomi-lingkungan Maluku abad 21.

Model Asia

            Pada 1993, Bank Dunia merilis sebuah laporan  tentang keajaiban pertumbuhan ekonomi Hong Kong, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan (Asian Tigers): “The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy”. Rata-rata pertumbuhan tahun 1960-1985 keempat negara ini berkisar 8 persen per tahun.

Maka model pertumbuhan (Asian model) itu, papar Joseph Eugene Stiglitz, ketua dewan penasihat ekonomi Presiden Amerika Serikat Bill Clinton (1993-2001), layak dijiplak oleh negara-negara lain pada abad 21. Resepnya ialah instrumen kebijakan pemerintah yang memacu lonjakan akumulasi modal physical capital, human resources (Sumber Daya Manusia/SDM), faktor-faktor produksi dan produktivitas.

Di sisi lain, keajaiban Asia jelang akhir abad 20 itu dianggap  hanya mitos dan bahkan suatu residu pertumbuhan ekonomi. Sebab tidak terjadi lonjakan total faktor produksi yang benar-benar mengentaskan kemiskinan di Asia. Begitu kritik ekonom Paul Krugman dan Alwyn Young. Jelang akhir abad 20, kritik Paul Krugman itu seolah benar ketika sejumlah negara Asia (Korea Selatan, Indonesia, Malaysia, dan Thailand) terpukul krisis keuangan.

            Namun, kini Asia pulih dari krisis. Justru pusat ekonomi dunia telah bergeser ke Asia Pasifik awal abad 21. Di depan Royal Society (London, Inggris) awal Februari 2010, Dr. Richard C. Levin, Presiden Universitas Yale (2010) Amerika Serikat (AS), misalnya, mengakui kebangkitan ekonomi Asia berbasis angkatan kerja terpelajar sejak awal abad 21. Dia mengatakan, ‘‘This has altered the balance of power in the global economy and hence in geopolitics. The rising nations of the East all recognize the importance of an educated workforce as a means to economic growth and they understand the impact of research in driving innovation and competitiveness’’.

            Dalam ceramahnya berjudul “The Rise of Asia’s Universities”, ekonom Levin juga menyebut contoh daya-saing Tiongkok awal abad 21 berbasis penguasaan sains, matematika dan engineering. Tiongkok melipatgandakan mahasiswa dari satu juta tahun 1997 menjadi 5,5 juta tahun 2007. Tiongkok menciptakan riset dan universitas kelas dunia selevel Harvard University dan Massachussetts Institute Technology (MIT) di AS dan Campridge University dan Oxford di Inggris.

            Pesatnya pertumbuhan ekonomi dan daya-saing Asia sejak Perang Dunia II, bermula dari Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan menyebar ke Hong Kong, Singapura, dan berikutnya Tiongkok dan India. Sekarang Asian model ini lebih akurat dijelaskan oleh faktor daya-saing Sumber Daya Manusia (SDM) melalui kemitraan swasta (industri), pemerintah dan perguruan tinggi (triple-helix) pada 4 pilar utama knowledge-based economy (KBE) : inovasi, teknologi komunikasi IT, pendidikan dan keahlian, dan rezim kelembagaan dan ekonomi (ADB, 2014:1).

            Awal abad 21, dalam laporan Komisi Eropa, model triple-helix dikembangkan oleh negara-negara Uni Eropa guna meningkatkan daya-saing negara, benefit sosial dan profit. Model triple-helix menekankan aspek komersial dan enterpreneurial perguruan tinggi. Model triple-helix hendak menghasilkan keseimbangan antara pengetahuan, benefit sosial, dan profit. Awal abad 21, dengan model triple-helix yang didukung oleh 4 ribu lembaga pendidikan, sekitar 17 juta mahasiswa, 1,5 juta staf perguruan ting dan sekitar 435 ribu peneliti, Uni Eropa hendak memacu daya-saing globalnya.

Secara historis, evolusi tata-ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy) selama ini menghasilkan “powerful spillover effect” bagi pertumbuhan ekonomi dan daya-saing berbagai negara.

Kawasan Ekonomi Khusus

Jelang akhir abad 20, Deng Xiaoping asal Tiongkok diakui sebagai arsitek pertumbuhan ekonomi paling cepat dalam sejarah umat manusia dan mampu meningkatkan standar hidup rakyat lebih dari satu miliar jiwa. Tahun 1978-1984, Deng merilis strategi kebijakan gaige kaifang (reformasi dan keterbukaan) guna menguji dan memperkaya ideologi, memacu agrikultur, dan ekonomi-pasar sosialis Tiongkok. Strateginya ialah shí shì qiú shì  atau “seek truth from facts.

I don't care if it's a white cat or a black cat. It's a good cat so long as it catches mice!” Tidak penting, kucingnya hitam atau putih, sejauh dapat menangkap tikus. Begitu papar Deng Xiaoping pada konferensi di Guangzhou, Tiongkok, tahun 1961. Tahun 1977, Deng sudah mempelajari keberhasilan Restorasi Meiji jelang akhir abad 19 Masehi di Jepang dan merilis pidato : “Respect Knowledge, Respect Trained Personnel”.

Pidato Deng itu adalah opsi taktis Tiongkok dengan 200 ribu peneliti hendak mengejar ketertinggalan sekitar 20 tahun dari AS dengan jumlah 1,2 juta peneliti dan Uni Soviet dengan 900 ribu peneliti pada tahun 1977. Kunci modernisasi ialah kemajuan sains, teknologi dan pendidikan. Jika mengabaikan pendidikan, maka kita gagal memajukan sains dan teknologi.

Pijakan dan lokomotif modernisasi Jepang sejak Restorasi Meiji Kaisar Mutsuhito tahun 1868 ialah pendidikan, sains dan teknologi. Pada November 1978, Deng mengunjungi Kuala Lumpur (Malaysia), Singapura, dan Bangkok (Thailand). Deng juga mencermati, aliran investasi Jepang ke Asia Tenggara yang disertai sains dan teknologi asing ke zona ini.

Dari pengalaman Restorasi Meiji dan aliran investasi-teknologi asing ke Asia Tenggara, Deng Xiaoping merilis program kebijakan khusus Gaige Kaifang awal 1980-an yakni A special economic zone is a medium for introducing technology, management and knowledge. It is also a window for our foreign policy. Kawasan ekonomi khusus pun dibangun guna membuka keran aliran investasi dan teknologi asing ke Tiongkok.

Tahun 1980, kawasan ekonomi khusus Tiongkok dibentuk yaitu Shenzhen (dekat Hong Kong), Zhuhai (dekat Macao), Shantou (keterbukaan dan integrasi ke jaringan overseas Chinese) di Provinsi Guangdong dan Xiamen (ke Taiwan) di Provinsi Fujian. Tahun 1984, 14 kota pelabuhan dan zona ekonomi pantai--Pearl River Delta, Southern Fujian Delta , Yangze River Delta--dibuka melalui joint-venture dengan modal asing.

Zona kawasan ekonomi khusus dipilih sebagai uji-empiris manajemen usaha, lapangan kerja, efisiensi, infrastruktur, pajak, tarif, keuangan, dan pertahanan-keamanan negara. Sasarannya ialah aliran investasi dan teknologi asing, tarif rendah, pasar tenaga kerja murah, level daya-saing infrastruktur dasar dan infrastruktur teknologi-sains tinggi, kurangnya kontrol birokrasi.

Sektor untuk aliran modal dan teknologi asing ialah pabrik, jasa (hotel, ritel, swasta), agrikultur, konstruksi, dan infrastruktur. Maluku bisa saja mempertimbangkan berbagai model triple helix, terkait kebutuhan yang disesuaikan dengan potensi kekayaan sumber daya alam Maluku, seperti keberadaan 25 blok Migas.

Lingkungan Sehat Lestari

Indeks “Fragile States” (negara-lemah) dari The Fund for Peace (2016) memasukan Negara RI dan Tiongkok ke level “warning”, seperti Thailand, India, Meksiko, Arab Saudi dan Israel. Sedangkan kinerja sosial, ekonomi dan lingkungan Jepang termasuk level sangat stabil dan sehat-lestari. Negara-lemah dilihat dari indeks ketidak-berdayaan mengatasi krisis pangan, perubahan iklim, pemanasan global dan ledakan penduduk.

Robert Prescott Allen pada 2011 menemukan, sebanyak 141 negara mengalami stres ekosistem lebih tinggi dari sehat-sejahtera rakyat (human-well being). Hanya Finlandia, Iceland, Norwegia, dan Austria mencatat level sehat-lestari ekosistem (ecosyste-well-being) tertinggi di antara 180 negara awal abad 21. Sedangkan 32 negara Eropa dan Amerika Utara mengalami defisit ekosistem, standar hidup tinggi, namun krisis lingkungan sangat hebat.

Model triple-helix Tiongkok pernah diterapkan oleh negara-negara di Eropa Barat abad 18-19 Masehi melalui revolusi industri. Pemicu utamanya ialah penemuan mesin bertenaga uap oleh James Watt. Sejak abad 18, tenaga uap (steam power) berbahan batubara mulai menggerakkan mesin-mesin industri yang terutama berbahan bakar batubara. Namun, belakangan revolusi industri di Eropa memicu resiko lingkungan. Resiko seperti ini juga yang dihadapi dalam  penerapan triple-helix Tiongkok.

Laporan berbagai media pada 2006 sampai 2007, Tiongkok menghadapi resiko lingkungan seperti polusi udara, hujan asam (acid rain), kepadatan penduduk, lebih dari 600 juta orang di berbagai provinsi hidup di bawah kondisi water-stress dan kesulitan rumah tinggal bagi penduduk. Namun, sejak Maret 2010, Tiongkok mengembangkan clean-technology dan clean-energy. Kini sosial-ekonomi Tiongkok sangat bergantung pada pasokan dan distribusi energi (fosil) impor, khususnya pasokan minyak melalui Selat Hormuz (Iran) ke Asia Pasifik, dan pasar hasil produksi.

Penerapan triple-helix akhirnya diukur dari manfaat dan benefitnya bagi masyarakat, ekonomi dan sehat-lestari ekosistem (ecosystem well-being dan human well-being). Jadi, daya-saing yang dihasilkan oleh penerapan triple-helix diukur dari kinerja sehat-lestarinya ekosistem dan sehat-cerdas-sejahtera masyarakat. Oleh karena itu, model triple-helix yang dikembangkan akhir-akhir ini misalnya “entrepreneurial universities” harus dapat menghasilkan suatu model pembangunan berkelanjutan (sustainable development) atau triple-bottom line. Ini pula tantangan dan peluang penerapan triple-helix guna memacu daya-saing Maluku abad 21.

Tantangannya ialah pasokan dana pemerintah sangat sedikit pada bidang pendidikan tertier. Berdasaarkan data Organization for Economic and Development (OECD)., tahun 2007 alokasi dana investasi negara RI ke pendidikan tertier hanya 0,3 persen GDP. Akibatnya, partisipasi rendah dan output riset sedikit. Indonesia merilis 198 paper riset tahun 2007; Filipina menghasilkan 195 paper riset dan Vietnam 283 paper riset; Malaysia 880 paper riset tahun yang sama, Jelang tahun 2010, Tiongkok dan Jepang menghasilkan lebih dari 50 ribu paper ilmiah internasional per tahun; India, Korea Selatan dan Australia 15 ribu paper ilmiah. Indonesia dan Bangladesh menghasilkan kurang dari 300 paper ilmiah internasional per tahun (Simon Marginson, 2011: 593).

Kita dapat melihat keberhasilan Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong, dan Singapura menerapkan model Jepang sejak 1980-an. Hasilnya, indeks KBE, inovasi, information communication technology, pendidikan, sains dan teknologi negara-negara ini sangat tinggi di Asia. Begitu pula, daya-saing perekonomiannya sangat tinggi. Karena anggaran pendidikan per kapita negara-negara ini sangat tinggi tahun1987 – 2007.

Misalnya, data Institute of Management Development (IMD) World tahun 2009, anggaran pendidikan per kapita Jepang tahun 1998 berkisar 1.120,75 dollar AS dan 1.324, 95 dollar AS tahun 2006; Korea Selatan berkisar 279,97 dollar AS tahun 1998 dan 830,53 dollar AS tahun 2006. Indonesia berkisar 2,29 dollar AS tahun 1987 dan 22,3 dollar AS tahun 2006. Filipina berkisar 30,57 dollar AS tahun 1998 dan 31,69 dollar AS tahun 2006.

Bagaimana Maluku?

            Awal abad 21, sekitar 90 persen zona kepulauan Maluku dengan luas 850.000 kilometer persegi, terdiri dari laut. Kepulauan Maluku sangat kaya keragaman-hayati, ikan, emas, minyak, gas dan mineral strategis lainnya. Risikonya yakni selama 400 tahun terakhir, zona-zona kaya sumber alam sering terjebak konflik dan kemiskinan atau the paradox of plenty.

            Di sisi lain, sebanyak 15 blok Minyak dan Gas (Migas) dikelola oleh investor asing di Maluku. Sedangkan 10 blok lainnya masih ditawarkan ke para investor. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) Maluku tahun 2015, provinsi Maluku yang berpenduduk 1,6 juta jiwa, 18,84 persen atau sekitar 307.000 jiwa adalah penduduk miskin dan menempati urutan ke-4 setelah Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

            Maluku dapat keluar dari jebakan paradox of plenty, risiko konflik dan kemiskinan dengan menerapkan model triple-helix dalam program kebijakan pembangunan berkelanjutan (triple-bottom-line). Misalnya, level partisipasi masyarakat Maluku dan sekitarnya sangat bergantung pada pilihan zona dan teknologi ekstraksi sumber-sumber alam seperti 25 blok migas Maluku. Jika pilihan zona dan teknologinya berbasis di darat (onshore), maka partisipasi masyarakat akan lebih tinggi di bidang local-content, local packaeging dan lain-lain.

            Keberadaan Blok Gas Abadi Masela dan blok Migas lainnya di Maluku, sudah pasti menjadi sumber pemasukan bagi negara dan juga bagi Maluku. Untuk itu, Maluku harus memastikan untuk memperoleh manfaat yang setimpal dari Blok Masela. Selain itu, pengembangan Blok Masela akan menjadi ujung tombak, sekaligus pertemuan Maluku dengan teknologi barat, jepang dan berbagai negara dalam hal pengelolaan sumber gas di Masela.

            Dari sejarah rempah abad 16-18 M dan dari berbagai literatur, kita belajar bahwa ahli-ahli obat di Eropa Abad Pertengahan menjadikan rempah-rempah sebagai bahan dasar obat, parfum, menu masakan, bumbu, pengawet, kosmetik, hingga bahan ritual keagamaan. Hasilnya, harga rempah lebih mahal dari harga emas. Saat itu, rempah Maluku adalah rempah kualitas terbaik dunia. Tetapi, masyarakat Maluku tidak dapat menikmati hasil-hasilnya karena rapuhnya KBE Maluku pada masa itu.

            Riset ahli evolusi biologi-geografi, Alfred Russel Wallace (Januari 1823-November 1913) dengan dana sendiri tanpa subsidi dari pemerintah Inggris di Amazon (Brazil) dan Maluku 1850-an hingga awal 1860-an melahirkan teori besar seleksi alam dan keragaman-hayati. Bahwa faktor iklim, vegetasi, suhu, dan pergerakan permukaan tanah (earth’s surface instability) mempengaruhi seleksi alam dan keragaman fauna seperti serangga, burung, dan lain-lain di Papua dan Maluku, jika dibandingkan fauna di Eropa, Asia dan Afrika. Begitu pula, karya  Peter Poivre membudidaya lada, cengkeh, pala asal Maluku di Mauritius tahun 1790-an adalah cikal-bakal kemajuan sains botani Perancis (Groves, 1995; Corn, 1998:227).

            Jadi, banyak kontribusi hasil riset ilmiah di Maluku bagi kemajuan sains dunia. Misalnya, hasil riset Naturalist kelahiran Jerman, George Everhard Rumphius tentang pengetahuan alam masyarakat pedalaman (indigenous ecological knowledge) sebagai pijakan metode riset dan analisanya tentang budaya dan alam. Karya Rumphius asal Jerman dan naturalis François Valentijn  asal Belanda telah menjadi sumber ilmu pengetahun yang merupakan sumbangan nyata Maluku kepada dunia.

            Reformasi pendidikan untuk melahirkan sains dan teknologi harus didukung oleh infrastruktur sains, teknologi, dan infrastruktur dasar pendidikan. Ini pula peluang bagi Pemda, masyarakat, dan swasta di Maluku untuk membangun infrastruktur pendidikan. Pengetahuan, sains dan teknologi perlu memandu pembuatan berbagai keputusan pada tiga pilar pokok sosial, ekonomi dan lingkungan pada berbagai level (sustainable decision-making).

            Tahap awal triple-helix-nexus perguruan-perguruan tinggi di Maluku yakni pembangunan infrastruktur sains-teknologi dan pelatihan/pendidikan SDM pengelolaan sumber daya alam, khususnya migas. Berikutnya, kreasi dan produksi pengetahuan melalui publikasi artikel dan paper ilmiah (knowledge-creation). Komersialisasi pengetahuan (knowledge-commercialization) dapat berupa pendanaan riset, invensi, paten, desain industri, sertifikasi, laboratorium, lisensi teknologi, dan lain-lain. Perguruan tinggi di Maluku dapat pula menarik ahli asal negara lain (foreign talent) dan kemitraan dengan lembaga riset atau universitas kelas dunia lainnya.

            Triple-helix-nexus berbasis kemitraan perguruan tinggi, sektor swasta dan pemerintah di Maluku perlu menghasilkan benefit sosial, profit, konservasi ekosistem, dan pertumbuhan ekonomi. Sebab, hal ini merupakan prinsip dasar triple-helix-nexus. Misalnya, perusahan adalah “laboratorium” ilmiah yang merajut transfer pengetahuan, proyek riset ilmiah untuk kemajuan industri, kemitraan dengan pihak asing (investasi), evaluasi kinerja ilmiah berbasis manfaat sosial-ekonomi-lingkungan, dan lain-lain.

            Dengan menggunakan pendekatan kapital (capital-approach), riset, invensi, inovasi, sains dan teknologi dari perguruan tinggi bidang (natural capital), institusi (institutional capital), keuangan (financial capital), alat produksi (real-capital), dan SDM (human resources) sangat diperlukan guna mengelola blok-blok migas dan sumber-sumber (daya) alam lainnya di Kepulauan Maluku. Dari sini dapat lahir KBE Maluku untuk membangun masyarakat sehat-cerdas-sejahtera dan ekosistem sehat-lestari atau daya-saing Maluku.  ***

 

*) Artikel ini merupakan pengembangan dari materi  Kuliah Umum di Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon pada 1 November 2016 dan Diterbitkan Majalah Assau, Edisi Desember 2016.